Analisis Kebudayaan | Tentang Agama Tradisional suku Dayak

MAKALAH
AGAMA-AGAMA LOKAL

AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK



DISUSUN OLEH :
MAULANA AKBAR R (11150321000042)





FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Agama Tradisional Orang Dayak”.Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk membuka wawasan para masyarakat dan khususnya mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melestarikan kekayaan yang dimiliki Nusantara.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.

B. Rumusan Masalah
1. Darimana Asal-Usul Orang Dayak?
2. Bagaimana Mite dan Magi Orang Dayak?
3. Bagaimana Struktur Keagamaan Orang Dayak?
4. Bagaimana Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak?
5. Bagaimana Interaksi Kepercayaan orang Dayak dengan agama-agama lain?
C. Tujuan Makalah
1.   Darimana Asal-Usul Orang Dayak?
2.   Bagaimana Mite dan Magi Orang Dayak?
3. Bagaimana Struktur Keagamaan Orang Dayak?
4. Bagaimana Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak?
5. Bagaimana Interaksi Kepercayaan orang Dayak dengan agama-agama lain?



BAB II
PEMBAHASAN
1. Asal Usul Orang Dayak

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai sub etnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Kata Dayak pada Awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli pedalaman pulau kalimantan terutama untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang umumnya memeluk agama Islam. Karna itu istilah dayak bukanlah nama kelompok etnis atau lebih tepatnya ditekankan kepada aspek sosio-religiusnya. Kata dayak terutama dipakai oleh orang luar untuk menyebut penduduk di pedalaman Kalimantan itu sendiri lebih suka disebut orang Daya.

Di Kalimantan Timur penduduk asli yang memeluk agama Islam dan amat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan zaman dulu dikenal dengan sebutan Halok atau Halo’ atau orang Kutai. Di Kalimantan Selatan dan di Kalimantan Tengah Penduduk Asli yang beragama Islam, cenderung menggolongkan dirike dalam kelompok suku Bangsa Banjar.

Menurut para ahli masyarakat suku-suku bangsa yang mendiami daerah pedalaman pulau kalimantan ini berasal dari daerah Asia Tengah bagian dari Dayak yaitu orang Murut, mungkin datang lewat Filipina dan telah terpengaruh oleh kebudayaan pertanian irigasi.[1]

Selain menggembangan sistem religi asli dari warisan nenek moyang mereka, orang Dayak nampaknya juga pernah dipengaruhi oleh agama Hindu Kuno, Hindu Jawa dan kemudian dipengaruhi pula oleh agama Islam. Pada masa sekarang orang dayak di pedalaman banyak yang sudah beragama Kisten, berkat kegiatan Misi dan Zending yang mampu mencapai daerah-daerah terpencil tersebut. Selain itu antara berbagai suku bangsa asli kalimantan tersebut juga sering terjadi percampuran daerah dan kebudayaan.[2]

 Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk pada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap pemukiman mereka.

Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh penduduk asli Dayak dan kaum pendatang lainnya dari Sumatra dan kaum urban dari Tiongkok dan daerah di  
Indonesia lainnya. Suku bangsa yang dominan besar yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa. yang jumlahnya hampir mendekati 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain yang jumlahnya 10%.  
Komposisi Suku Bangsa di Kalimantan Barat:

1. Suku Bangsa Persentase Dayak 55%
2. Melayu 17%
3. Tionghoa 18%
4. Lain-lain 10%.[3]

Menurut Tjilik Riwut, suku Dayak terbagi dalam tujuh suku besar dan beberapa suku kecil, yaitu :
1.      Dayak Ngaju
a.       Dayak Ngaju, terbagi dalam 53 suku kecil,
b.      Dayak Ma’anyaan, terbagi dalam 8 suku kecil,
c.       Dayak Dusun, terbagi dalam 8 suku kecil,
d.      Dayak Tawangan, terbagi dalam 21 suku kecil.

2.      Dayak Apu Kayan
a.       Dayak Kenya, terbagi dalam 24 suku kecil,
b.      Datak Kayan, terbagi dalam 10 suku kecil,
c.       Dayak Bahau, terbagi dalam 26 suku kecil.

3.      Dayak Iban atau Heban (Dayak Laut) terbagi dalam 11 suku kecil.

4.      Dayak Klemantan (Dayak Darat)
a.       Dayak Klemantan, terbagi dalam 47 suku kecil,
b.      Dayak Ketungan, terbagi dalam 40 suku kecil.

5.      Dayak Murut
a.       Dayak Murut, terbagi dalam 28 suku kecil,
b.      Dayak Idaan (Dusun), terbagi dalam 6 suku kecil,
c.       Dayak Tidung, terbagi dalam 10 suku kecil.

6.      Dayak Punan
a.       Dayak Basap, terbagi dalam 20 suku kecil,
b.      Dayak Punan, terbagi dalam 24 suku kecil,
c.       Dayak Ot, terbagi dalam 3 suku kecil,
d.      Dayak Bukar, terbagi dalam 3 suku kecil.

7.      Dayak Ot-Danum, terbagi dalam 61 suku kecil.

2. Mite dan Magi Orang dayak

1. Mite Orang Dayak
Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.
Mite orang Dayak, legenda, dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa, roh gaib, dan Spirit (kekuatan) sakti, dan berbagai strata kehidupan dan sebagainya. Sebagian kebudayaan suku Dayak adalah berdasarkan tradisi yang diwarisi nenek moyang. Tradisi ini meliputi doktrin dan mite dalam memberikan pedoman yang samar-samar, contohnya untuk membedakan antara dewa dan roh gaib. Roh gaib ini tidak berbeda dengan roh para leluhur dan semuanya harus dipuja.

Untuk melihat kenyataan itu, akan diberikan contoh mengenai mitos orang Dayak. Diantaranya tentang kejadian alam, manusia, dan benda sakti.

Hampir disetiap suku bangsa di Indonesia ini, mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai kejadian alam dan manusia. Hal ini tidak terkecuali pada suku Dayak yang terdapat pula berbagai variasi, menurut suku dan kelompoknya masing-masing. Variasi-variasi tersebut dapat dipelajari melalui cerita-cerita atau mitologi suku Dayak, diantaranya adalah mitologi tentang Ranying Pohatora dan Peres, Batang Garing, Mandau, dan sebagainya.

Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai perbedaan persepsi mengenai lahirnya kejadian alam dan manusia. Hal ini juga termasuk dalam suku dayak yang bervariasi, menurut daerahnya masing-masing.

Dalam suku Dayak dikenal Mitologi Ranying Pohotora dan Peres, batang Garing, Mandau, dan sebagainya.[5]

a.       Cerita tentang Ranying Pohatora dan Peres
Berdasarkan mitologi suku Dayak, manusia itu diciptakan setelah Mahatalla selesai menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Setelah itu Peres datang dan mendapatkan manusia, terdiri dari pria dan wanita yang telah diciptakan oleh Ranying Pohatora dari telur yang ditemukan dalam pengembaraannya. Namun pada saat itu ciptaan Ranying Pohatora belum sempurna karena belum mempunyai nafas dan tulang. Untuk mendapatkan nafas dan tulang itu, Ranying Pohatora kembali mengembara untuk mendapatkan nafas dan tulang dari batu.
Pada saat itulah Peres datang, lalu dia membujuk Andin Ramban (istri Ranying Pohatora) agar mau memberikan nafas yang tidak kekal, yaitu nafas dari angin dan tulang dari kayu. Hal ini menurut Peres akan menguntungkan manusia itu sendiri, karena dapat hidup dan mati, kemudian hidup dan mati kembali, begitu seterusnya.
Mendengar penjelasan Peres itu maka Andin Ramban setuju, lalu mereka bekerja sama untuk menghidupkan manusia itu. Disaat mereka sedang menghidupkan manusia itu, datanglah Ranying Pohatora, dia tidak dapat marah karena diantara mereka ada istrinya sendiri. Meskipun manusia saat itu sudah mempunyai nafas dan tulang itupun belum sempurna, karena belum memiliki gigi, kuku, dan rambut. Dengan jiwa besar Ranying Pohatora menyempurnakan wujud manusia tersebut.

b.      Tentang Batang Garing
Cerita ini amat populer dikalangan suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing. Tak lama kemudian pohon itu berubah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, berlian, dan batu-batu mulia lainnya.
Setelah batang garing terbentuk, lalu Jata melepaskan burung tinggang betina dari sangkar emasnya, kemudian burung itu terbang dan hinggap diatas pohon itu dan memakan buah pohon itu. Melihat kenyataan itu, Mahatalla melemparkan kerisnya yang bertahtakan emas dan permata. Kemudian menjelma menjadi burung tinggang jantan, yang dinamakan Tambariang lalu dia memakan buah pohon itu pula.
Kehadiaran kedua ekor burung  di atas pohon batang garing itu, menimbulkan kecemburuan dan keirian dikalangan mereka, lalu timbullah perkelahian yang cukup dahsyat dan menurut kepercayaan suku Dayak perang ini disebut sebagai “perang suci”. Akibat perkelahian ini, makin hancurlah pohon batang garing secara berkeping-keping dan dari kepingan-kepingan itulah terjadinya manusia pria dan wanita.
Selain daripada itu terjelma pula dua bahtera permata dan masing-masing mereka melayari satu. Bahtera pertama, dinamakan Putir Kahukup Bungking Garing (putri dari kepingan garing) dipergunakan oleh yang wanita. Bahtera kedua, bernama Manjamei Limut Garing Balua Unggom Tinggang (sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh tinggang) dipergunakan oleh pria. Akibat pertempuran itu, kedua tubuh burung itupun hancur lebur dan dari bagian-bagian tubuh itu terciptalah alam semesta, bersama dengan isi-isinya, seperti hutan, rimba, gunung, bukit, sugai, laut, dan seluruh hasil kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Setelah kedua manusia itu tercipta, keduanya lalu melakukan pengembaraan di tengah-tengah laut, sampai pada akhirnya si lelaki meminta si wanita menjadi istrinya. Si wanita bersedia menjadi istrinya dengan beberapa persyaratan :
1)     Si lelaki harus membuatkan sebuah dataran untuk tempat tinggal mereka
2)      Agar di atas tanah tersebut didirikan rumah tempat mereka hidup.
c.       Mandau
Mandau merupakan senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Dahulu mandau memiliki mitos yang dipercaya masyarakat Dayak mengandung unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercaya memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil dikayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena dikayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.

2. Magi Orang Dayak
Magi berasal dari kata dalam bahasa latin magicus dari magia dan kata dalam bahasa Yunani mageia yang artinya adalah magis atau gaib.
Suku Dayak dikenal dengan ilmu magisnya, ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu : Mangaji (berguru), Balampah (bertapa), Katuahan (Keberuntungan), Nupi (Mimpi), Minyak dan ada yang memang ilmu magis sejak lahir.[6]

MANGAJI / BASURAH
Mangaji / Basurah adalah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu magis Dayak dari seorang guru dengan membayar syarat yang disebut s, bentuk pembayaran syarat ini tentu mengikuti cara tertentu, intinya pembayarannya tidak boleh lebih mahal atau lebih murah dari jumlah pembayaran pada saat sang guru mengaji dengan gurunya. Jika terjadi penyimpangan oleh sang guru baik tentang jumlah pembayaran maupun pemberian ilmu magis kepada muridnya hal ini akan mengakibatkan kematian. Sang guru akan mengajarkan ilmu kepada muridnya sesuai jenis ilmu magis yang diinginkan dan sesuai pula dengan tingkat pembayaran.

BALAMPAH
Suku Dayak percaya dengan balampah dapat bertemu dengan Dewa, Sengiang ataupun arwah orang-orang yang sudah meninggal. Biasanya suku Dayak belampah dengan tujuan untuk pergi berperang, mengaji atau akan pergi merantau. Tempat yang dipilih biasanya; tempat yang dianggap keramat seperti kuburuan keramat, hutan angker, pahewan, pangantuha, kuburan orang mati saat melahirkan, kuburan bayi yang mati ketika baru lahir, air terjun, pohon beringin, gua batu dsb.
Balampah atau bertapa dilakukan dengan dua cara yaitu; atasa dasar mangaji atau atas dasar keinginan sendiri. Belampah atas dasar mengaji biasanya dilakukan oleh murid bersama gurunya. Sang guru akan menentukan tempat dan waktu yang tepat. Belampah dengan cara ini jauh lebih mudah dibandingkan belampah atas dasar keinginan sendiri, karena disini sang murid hanya duduk bersemedi mengikuti petunjuk gurunya. Sang guru akan memanggil roh-roh yang diperlukan , setelah roh-roh ini datang maka sang guru akan menjadi saksi antara muridnya dengan roh tersebut, jika sang murid beruntung maka roh-roh itu akan memberikan ilmu magisnya secara langsung sesuai permintaan.
Balampah atas keinginan sendiri, biasanya harus mencari tahu syarat-syarat apa saja yang diperlukan pada daerah tertentu itu dari seorang juru kunci atau tokoh adat disekitar tempat keramat tersebut. Untuk waktu belampah akan ditentukan oleh orang tersebut sendiri. Orang yang belampah ini akan pergi secar diam-diam tanpa diketahui oleh seorangpun sambil membawa persembahannya yang akan dberikan kepada Dewa, Sengiang biasanya pada sekitar jam 8 malam menuju tempat yang telah ditentukannya.
Disaat menjalani tapa biasanya ia akan mendapat banyak godaan dari roh-roh gaib disekitar. Roh-roh tersebut akan datang dalam wujud binatang seperti ular, ulat bulu, lipan, kalajengking, suara-suara yang tidak diketahui asalnya. Jika orang tersebut berhasil melewati godaan tahap pertama maka roh-roh ini selanjutnya akan muncul dalam rupa binatang-binatang buas seperti harimau, macan dll. Bila orang ini mampu bertahan makan akan muncul sosok seperti manusia yang tinggi besar, kadang hanya mendengar suara yang tidak kelihatan orang nya dan kadang juga datang dalam bentuk nenek moyang yang telah meninggal. Bila balampah sudah selesai maka pulangnya akan diantarkan oleh Dewa, Sengiang ataupun arwah leluhur.
Di Kalimantan Tengah tempat yang terkenal untuk balampah adalah Bukit Batu dan juga Bukit Bondang di Puruk Cahu. Kono jika bakhkan jika ingin balampah di puruk bondang harus membawa hati manusia yang baik.

KATUAHAN/KANUAHAN
IImu yang diperoleh secara kebetulan disebut Katuahan atau keberuntungan. Peristiwa ini tergolong langka, misal seseorang mendapatkan kumala lipan, mendapat pelanduk bertanduk, kijang putih, ular berkepala dua dan benda-benda aneh lainnya yang dipercaya dapat memberikan kekuatan magis.

NUPI
Orang Dayak sangat percaya bahwa nupi atau mimpi mempunyai arti khusus atau dapat juga dikatakan sebagai pertanda yang diberikan Ranying, Dewa, Malaikat, Sengianga kepada manusia. Suku Dayak juga meyakini bahwa dengan mimpi mereka dapat bertemu dengan roh nenek moyang. Biasanya mimpi yang memiliki arti akan berupa sebuah teka-teki. Orang yang mendapatkan ilmu melalui mimpi, ia akan didatangi didalam mimpinya oleh roh dan memberikan petunjuk di suatu tempat terdapat benda magis yang memiliki kemampuan khusus. Atas petunjuk yang cukup jelas yang diterima melalui mimpi tersebut, orang yang bermimpi hanya tinggal mengambil benda pemberian itu untuk dimanfaatkan.

MINYAK & KAYU
Ilmu Dayak juga dapat diperoleh melalui macam-macam minyak, ada yang dikenal dengan minyak binatang, ada juga minyak besi yang memberikan kekebalan, minyak main dan minyak garak digunakan oleh orang yang sudah lulus kuntau atau dikenal dengan istilah batamat ada sangat banyak jenis minyak yang digunakan oleh Suku Dayak. Minyak-minyak ini ada yang ditelan ada juga yang digantung di mandau atau diikat dipinggang sebagai Penyang. Selain minyak ada juga jenis kayu-kayuan yang digunakan sebagai ajian, misal Kayu Kepot Sala, Kayu Manang, dll. [7]

ILMU MAGIS SEJAK LAHIR
Ilmu magis sejak lahir adalah ilmu yang dibawa seseorang sejak lahirnya, ini sesuatu yang jarang terjadi. Bagi kalangan Dayak Benuaq & Tunjung salah satu yang diyakini adalah apabila anak lahir bungkus atau terbungkus dengan selaput dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Kalubut atau Suut dalam bahasa Benuaqnya, maka konon ia memiliki kembaran seekor buaya. Untuk membuka selaputnya harus dengan hati-hati menggunakan padi atau ilalang dan tata cara tertentu, jika bungkus ini dibuka dengan benda lain maka ilmu yang seharusnya didapat oleh bayi tersebut menjadi tidak berfungsi atau gagal.
Konon orang yang memiliki ilmu yang dibawa sejak lahir ini maka tidak ada ilmu magis yang mampu menyamai atau menandinginya. Menurut penelitian peristiwa langka ini banyak terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur, biasanya terjadi di antara 1 banding 80.000 bayi. [8]

3. Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan ajarannya)

Kaharingan, kata ini mungkin masih asing bagi kebanyakan orang. Tapi kalau terdengan kata Daya (Dayak), Kemungkinan besar kebanyakan orang akan tahu. Keterkaitan dan Daya ada pada sisi kepercayaan. Bahwa kaharingan adalah kepercayaan Suku Dayak.

Kaharingan berasal dari bahasa sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah “Haring”. Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan batang garing atau pohon kehidupan.

Seperti Halnya dengan agama Lokal lainnya di Nusantara, Keberadaan mereka nyaris terabaikan dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang, agama Kaharingan dianggap sebagai agama Helo alias agama lama. Alias agama nenek moyang.

Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.

Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal- usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.

Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.

Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.

Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi "Mahatara", sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya "Ranying Mahatalla Langit".

Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup.

Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Perkawinan dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan. Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.

Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut. Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.

Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua Sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal- usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.[9]

4. Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak (Dayak Benuaq, Kanaytan, Ngaju, Maanyaan, dll )

Upacara Kematian

Upacara Dayak Ngaju mengenal upacara tiwah, yaitu upacara pembakaran tulang belulang orang yang telah meninggal. Setelah orang meninggal mayatnya terlebih dahulu dikubur dalam peti kayu yang berbentuk lesung dinamakan raung. Setelah beberapa tahun kemudian, ketika jenazah disimpan di dalam tulang belulang kemudian dikumpulkan dan dibakar, abunya disimpan di dalam bangunan kayu bertiang tinggi yang disebut sandung (Melalatoa, 1995: 628). Sandung dapat dibentuk dengan hiasan yang rumit dan indah, tiang-tiang kayu digambarkan dalam bentuk sikap statis seperti orang meninggal. Dapat saja dalam suatu sandung ditempatkan abu dari beberapa orang yang telah meninggal, namun masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat.Upacara tiwah pada dasarnya memerlukan dana yang mahal, oleh karna itu sering kali diadakan oleh beberapa keluarga dalam jumlah besar.

Pelaksanaan sebuah ritual keagamaan yang masih dilakukan oleh anggota suatu kelompok etnis merupakan sarana yang diyakini dapat menghubungkan manusia dengan keramat. Ritual tidak hanya sebagai sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu mengganggu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita (Haviland, 1999: 207)

Etnis Dayak Tamambaloh Sungulo’ Apalin mempercayai adanya kehidupan lain setelah menusia meninggal. Roh orang meninggal tersebut akan menempati alam roh, namun orang yang meninggal tersebut tetap berada di sekitar kehidupan warga atau kerabat yang masih hidup. Roh tersebut dapat dipanggil sewaktu-waktu, misalnya dalam upacara bamanang. Roh orang meninggal akan datang bila dipanggil oleh manang/balian dan dapat dimintakan bantuannya dalam proses penyembuhan. Seorang pemimpin adat masyarakat setempat yang bergelar Tumenggung, dengan tegas menyatakan bahwa kepercayaan tradisional etnis Dayak Tamamboloh Sungulo’ Apalin berbeda dengan kepercayaan kaharingan, salah satu hal yang membedakan kepercayaan setempat, yang disebut sebagai ajaran leluhur, dengan Kaharingan terlihat dalam upacaran kematian. Dalam ajaran kaharingan, jenazah orang yang meninggal akan dibakar dan abunya disimpan dalam sebuah bangunan yang didirikan di muka rumah. Dalam ajaran leluhur Sungulo’ Apalin, Jenazah tidak dibakar namun dibiarkan tetap berada dalam lungun (Anggraini, 2000: 53).

Dalam ritual upacara kematian orang Dayak Tamambaloh Apalin, kedudukan bukan hanya milik kerabat dari orang yang meninggal, tetapi juga milik semua penghuni betang (Rumah tradisional berbentuk rumah panjang). bentuk kedudukan tersebut ditunjukan dengan adanya penghormatan terhadap sejumlah larangan atau pantangan. Pantangan dalam masa berkabung antara lain mencangkup:
A. Larangan memakai baju yang mencolok
B. Larangan memakai emas atau perak (jenis barang yang dilarang dipakai tergantung kebiasaan orang meninggal)
C. Larangan berkumpul dan membuat keramaian, dan
D. Larangan bertepuk tangan.[10]

Larangan tersebut berlaku untuk kurun waktu tertentu, lamanya tergantung dari waktu yang diteapkan oleh keluarga yang berduka; biasanya berkisar antara dua minggu hingga satu bulan. Sanksi yang diterapkan bila pantangan tersebut dilanggar lebih berupa sanksi moral dan sanksi sosial. Masa berkabung bagi keluarga dan seluruh anggota betang diakhiri dengan ritual buang pantang. Ritual buang pantang, pihak keluarga yang berduka menghias perahunya dengan berbagai hiasan dan selanjutnya menggunakan perahu tersebut untuk berziarah ke makam (kulambu). anggota keluarga yang mengangkut anggota keluarga yang telah berziarah tiba di kampung, anggota betang menyambut dan menceburkan diri ke sungai. Membasuhi tubuh dengan air sungai dilakukan sebagai perlambanganbahwa anggota betang telah bebas dari segala larangan/pantangan, bebas dari masa berkabung.

Kematian bagi masyarakat Dayak tamambaloh Apalin juga dipandang sebagai krisi terakhir dalam kehidupan individu dan seluruh komunitas betang. Kepergian seseorang ke alam roh dianggap dapat mengganggu keseimbangan betang, dan oleh karna itu anggota keluarga yang masih hidup harus mengembalikan keseimbangan tersebut dengan melakukan ritual pantang dan buang pantang. Pada waktu yang bersamaan kemunitas betang juga harus mengadakan penyesuain diri dengan hilangnya seseorang yang mempunyai ikatan emosional dengan mereka.[11]

G.    Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain
Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya candi agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari kerajaan kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di kota bangun, kutai kartanegara) dan kerajaan wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu nisan sandaimenunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih kekeristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku dayak dusun balangan yang tinggal di kecamatan Halongan di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Manila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya Bahasa Arab..
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh.
Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar.


Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjilan pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.[12]














BAB III
KESIMPULAN

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai sub etnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Kata Dayak pada Awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli pedalaman pulau kalimantan terutama untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang umumnya memeluk agama Islam. Karna itu istilah dayak bukanlah nama kelompok etnis atau lebih tepatnya ditekankan kepada aspek sosio-religiusnya. Kata dayak terutama dipakai oleh orang luar untuk menyebut penduduk di pedalaman Kalimantan itu sendiri lebih suka disebut orang Daya.














Analisis Kebudayaan

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai sub etnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai. Selain menggembangan sistem religi asli dari warisan nenek moyang mereka, orang Dayak nampaknya juga pernah dipengaruhi oleh agama Hindu Kuno, Hindu Jawa dan kemudian dipengaruhi pula oleh agama islam..
Mite orang Dayak, legenda, dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa, roh gaib, dan Spirit (kekuatan) sakti, dan berbagai strata kehidupan dan sebagainya. Sebagian kebudayaan suku Dayak adalah berdasarkan tradisi yang diwarisi nenek moyang.
Mitologi yang berkembang di suku dayak yaitu tentang batang garing, Cerita ini amat populer dikalangan suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing.
Mandau merupakan senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri).
Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.



HALAMAN JUDUL .........................................................................................  i

KATA PENGANTAR .......................................................................................  ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................  iii

A.    Pendahuluan ...........................................................................................  1
B.     Asal Usul Orang Dayak ..........................................................................  1
C.     Mite dan Magi Orang Dayak ..................................................................  5
D.    Struktur Keagamaan Orang Dayak
(Faham Kaharingan dan Ajarannya) .......................................................  11
E.     Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak ........................  23
F.      Kesenian Suku Dayak .............................................................................  26
G.    Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain......... 30
H.    Lampiran Gambar ...................................................................................  33
I.       Kesimpulan .............................................................................................  38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................  39




Suku Dayak (Gambar) : 

1.1 (Gambar) Batang Garing, Salah satu mitologi suku dayak



1.2 (Gambar) Peta Persebaran Suku Dayak 


1.3 (Gambar) Candi Agung Amuntai, Salah satu bukti masuknya Islam di tanah dayak
Sumber


1.4 (Gambar) Mandau, senjata khas suku dayak
Sumber


1.5 (Gambar) Panaturan, Kitab suci penganut hindu kaharingan

Suku dayak (Video) : 


Video Tentang Upacara Penguburan dayak Kenyah
Durasi : 8:33 Menit

Dalam upacara penguburan ini, warga yang satu kampung dengan almarhum, baik keluarga almarhum maupun tetang dan kerabat almarhum membagikan tugas dengan adil, agar prosesi penguburan berjalan dengan lancar.
Setelah tugas dibagikan, hal pertama yang harus dilakukan untuk beberapa warga adalah memandikan jenasah, mengenakan pakaian pada jenasah (pakaian yang digunakan biasanya serba putih) setelah itu jenasah ditaruh diruang tamu, dalam bahasa dayak istilah ini dinamakan dengan Mangkorah. Sementara beberapa warga lainnya diminta untuk memberitaukan kematian itu kepada keluarga jenasah yang tinggal jauh dari tempat kediaman almarhum. Sebelum beranjak dari rumah alamarhum, warga yang diminta untuk memberitahukan keluarga almarhum harus menggigit paku (dalam bahasa dayak paku ini sebagai pangkaras) sambil mengucapkan "Loe basi karas sumangat”. Kalimat yang diucapkan tersebut menandakan sumangat (jiwa kita) mereka lebih keras dari pada besi, tidak bisa dibujuk atau dirayu (tarere’) oleh roh orang yang telah mati.


Video tentang tarian adat suku dayak punan
Durasi : 40:05 Menit

Tarian ini menggambarkan semangat generasi muda dalam meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan. Kemajemukan sosial dan budaya dalam diri para pemuda yang menuntut ilmu di Bumi Tambun Bungai bukanlah suatu hambatan dalam mewujudkan cita-cita bersama untuk memajukan daerah.Dibanding konsep awalnya, sajian tarian ini telah mengalami pengembangan ragam gerak dengan tidak meninggalkan kaidah dan tehnik dasarnya.Tarian ini dimainkan dengan lincah dan gembira, sebagai manifestasi dari semangat yang dimiliki oleh generasi muda dalam upaya ikut serta dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.


Video Ini tentang Ritual Tiwah, Ritual dari suku dayak
Durasi : 8:45 Menit

Ritual Tiwah adalah upacara keagamaan suku dayak untuk oengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah dibuat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Ritual Tiwah ini sangatlah sakral bagi suku dayak. Pada acara ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah meninggal tersebut diantar dan diletakkan ke tempatnya, mereka melakukan banyak sekali ritual, tarian, suara gong dan masih banyak hiburan lainnya sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya.















DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015).
PaEni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia Religi dan Falsafah (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Salam, Syamsir, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Muljana, Slamet, Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. (PT LKiS Pelangi Aksara, 2009)

Webside

Catatan Kaki
[1]Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 111.
 [2]Hidayah, Zulyani : Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1997, 2015) hlm. 111.
 [3]E-journal, SENI DAN BUDAYA DAYAK KALIMANTAN BARAT”, http://e-jornal.uajy.ac.id/620/2/1TA12487.pdf , diakses pada 10 maret 2017 pukul 15.23.
 [4]Salam, Syamsir :  Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) hlm. 68-69.
 [5]Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 68-69.
 [6]Zakaria, “Sejarah Suku Dayak”, https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/ , diakses pada tanggal 10 maret 2017 pukul 15.14
 [7]Wikipedia, “Magi”, https://id.wikipedia.org/wiki/Magi , diakses pada tanggal 10 maret 2017 pukul 16.19
 [8]Floks Of Dayak, “Cara Mendapatkan Ilmu Magis Dayak”, https://folksofdayak.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-dayak/ , diakses pada 10 Maret 2017 pukul 16.26
 [9]Kebudayaan Indonesia, “Kaharingan,kepercayaan suku dayak”, http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/967/kaharingan-kepercayaan-suku-dayak , diakses pada 10 maret 2017 pukul 15.29

 [10]Supartha, Made dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Religi dan Falsafah (Jakarta: Rajawali Pres, 2009), hlm. 26-28.
[11]Muljana, Slamet., Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara.  (PT LKiS Pelangi Aksara, 2009),  hlm. 61.
 [12]Wikipedia, “Suku Dayak”, www.wikipedia.com/wiki/suku-dayak , Diakses pada 12 Maret 2017 pukul 09.28




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Kebudayaan | Agama Tradisional Suku Toraja

Analisis Kebudayaan | E-Jurnal Tentang Suku Toraja

Analisis Kebudayaan | Agama Tradisional suku Naulu